Perang antara tahun 1825 sampai dengan 1830, menyebabkab dusun-dusun didaerah Kedu kosong, tidak berpenghuni, mereka mengungsi karena takut adanya kerusuhan. Menjelang senja, mulai jam 4 jalan-jalan nampak sepi yang kelihatan hanyalah petugas keamanan, kadang terdengar bunyi kuda berlari kencang. Kerusuhan terjadi dipinggir dusun jauh dari jalan raya.
Ketika perang usai, penduduj dusun masih saja ketakutan. Petugas keamanan berusaha keras untuk memulihkan hati penduduk supaya kembali hidup damai seperti sedia kala. Para prajurit pun sudah meninggalkan tempat peperangan dan sudah pulang ketempat asalnya.
Pada suatu senja, sekira jam enam, ada seorang perwira berpangkat Mayor naik kuda menuju Kedu. Sampai ditempat yang lengang, Mayor itu melihat sekilas seorang laki-laki menggendong seorang anak kecil yang menjerit-jerit ketakutan. Mayor itu tahu, kalau anak kecil itu takut kepadanya maka katanya pelan:”berhentilah, jangan takut kepadaku, siapa kamu?” lelaki itu berhenti dan gemetar ia menjawab:” tuan jangan bunuh saya.” Mayor itu menyahut:” aku tidak apa-apa jangan takut, katakana siapa kamu dan dari mana asalmu katakana terus terang.”.
Timbul keberanian lelaki itu melihat bahwa Mayor itu benar-benar tidak akan menyakitinya, katanya;” tuan, saya orang kota, akan mencari perlindungan, karena ada perang dikota.” Mayor menimpali dengan sabar:” oh, saya kira kepergianmu dari kota sudah lama, nah siapa anak yang kau gendong itu?” jawab lelaki itu:” benar tuan sudah lama saya meninggalkan kota, menempuh jalan yang sepi, menjelang senja baru saya berani lewat jalan raya. Anak ini, anak saya baru 3 tahun.”
Mayor itu turun dari kudanya dan berbisik:”kasihan’ dia mendekati anak itu dan lanjutnya “jangan takut ya aku tidak apa-apa, kelak aku belikan mainan, ikut aku ya. Namamu siapa dan siapa pula nama anakmu itu.” Lelaki itu mengaku bernama Kertawijaya dan anaknya bernama Siyam. Mayor itu ganti mengatakan bahwa dia berpangkat mayor dan namanya Tiem. Mayor itu segera mengajak Pak Kerta dan memberitahukan bahwa sekarang keadaannya sudah aman.
Pak Kerta selalu menuntun kuda, sedang Mayor Tiem memangku Siyam mengendarai kuda lazimnya seorang anak kecil pasti takut kepad orang yang baru saja dikenalnya, tapi karena Mayor Tiem menunjkan kasih sayangnya maka Siyam pun tampak senang dan bahkan terdengar tawanya. Pak Kuta pun merasa terharu campur gembira melihat Siyam sebaliknya Mayor Tiem kelihatan sedih, dia teringat putrinya di negeri Belanda, katanya:” Kera, relakan anakmu, akan ku asuh Siyam seperti anak kandungku.” Pak Kerta, sejenak bingung mendengar permintaan Mayor Tiem tahu perasaan Pak Kerta yang mungkin cemas dan ragu-ragu, katanya hati-hati.” Aku tahu kau khawatir, ayolah ikut aku kita sudah hampir mendekati kota.” Lampu-lampu jalanan sudah menyala .
Didepan sebuah rumah besar, Mayor Tiem menyuruh pak Kerta langsung masuk kehalaman dan disambut oleh seorang laki-laki Sidin namanya dan seorang perempuan bernama Minah. Mereka kegirangan melihat Mayor Tiem menggendong seorang anak kecil serta pak Kerta yang menuntun kuda. Mereka jadi termangu namun cepat Mayor Tiem menjelaskan siapa mereka itu, kata Mayor Tiem selanjutnya “ Minah, gendong anak ini, dan Sidin bawa kuda kekandangnya dan ajak Pak Karta kebelakang.” Minah senang sekali mengendong Siyam dan ingin tahu ceritanya mengapa majikannya membawa pulang anak dan bapak itu.
Sesudah ganti pakaian, Mayor Tim duduk diberanda dan menyuruh Minah agar Siyam diajak sekalian mereka datang beriingan dengan Sidin dan pak Kerta. Sebelum mendengar penjelasan dari majikannya Minah sudah mnedahului berkata;” tuan anak itu begitu menyenangkan, saya ingin mengasuhnya,” majikannya tersenyum dan menjawab;”memang saya berharap kamu menjadi pengasuhnya. Nama anak itu Siyam dan akan menjadi anak angkat saya, pak Kerta itu ayahnya.” Minah menoleh kepada pak Kerta yang duduk dibelakangnya, apa betul yang diakatakan Mayot Tiem itu pak Kerta mengiyakan dan menyerahkan dengan sepenuh hati, agar Siyam menjadi anak angkat Mayor Tiem.
Mayor Tiem meminta pak Kerta membawa istrinya untuk tinggal bersama dirumah besar Mayor Tiem. Dengan sedihnya pak Kerta mengatakan bahwa Siyam sudah tidak mempunyai ibu lagi. Mayor Tiem mendengar jawaban pak Kerta ikut sedih hatinya mengingat istrinya yang sudah tiada. Sesudah ada kesepakatan Siyam dipungut mayor Tiem menjadi anak angkat Minah mengusulkan supaya ganti nama mereka berunding nama manakah yang pantas atau sesuai akhirnya mereka meutuskan nama Siyam diganti Nurdiyati. Mulai saat itu resmi Siyam berganti nama Nurdiyati dan resmi pula menjadi anak angkat mayor Tie, begitu kasih sayangnya mayor Tiem kepadanya.
Meskti Mayor Tiem berasal dari negeri Belanda namun merasa nyawanya hidup dijawa, sifatnya amat baik, peduli pada sesama dan lingkungannya, pekertinya halus, santun dan dia juga bermaksud amendalami bahasa dan budaya jawa.begitu ketertarikannya kepada bahasa dan budaya jawa maka pembantunya juga adalah orang-orang pribumi. Walau perang sudah usai keadaan sudah tentram, damai dan masih ada juga penjagaan ketat agar penduduk merasa aman.
Mayor Tiem juga sendiri melaksanakan tugas, pergi ke pelosok-pelosok desa, naik kuda dan pak Kerta ikutserta. Sejak anaknya menjadi anak angkat Mayor Tiem, pak Kerta pun dijadikan pengikutnya apabila masuk kedalam desa. Kasih sayangnya kepada pak Kerta, sama seperti kasih sayangnya kepada Nurdiyati, karena disamping pak Kerta bias menguasai tentang kuda sering juga memberi saran-saran yang sangat berguna untuk kepentingan tugas Mayor Tiem.
Ketika itu penduduk desa masih merasa takut, apabila bertemu dan berpapasan dengan orang Belanda sebelum pak Kerta menyertainya, Mayor Tiem naik kuda sendirian keliling desa, dan menimbulkan ketakutan orang banyak mereka lari lunggang langgang meninggalkan pekerjaannya disawah hal itu menjadikan hati Mayor Tiem sedih, sekarang setelah pak Kerta menyertainya suasana jadi lain.
Pada suatu hari, ketika mayor Tiem bertugas seperti biasanya, masih ada orang yang lari ketakutan, Mayor Tiem bertanya kepada pak Kerta:” mengapa mereka larimelihat kita.” Pak Kerta menjawab:” memang orang-orang itu takut kepada tuan, terbukti mereka menoleh-noleh kepada kita.” Mayor Tiem kecewa mendengar penjelasan pak Kerta , karena menurut berita, penduduk sudah tidak takut lagi kepada Belanda. Pak Kerta melanjutkan penjelasannya, kalau Mayaor Tiem berbeda berbeda dengan prajurit-prajurit , memilih pakaian, Mayor Tiem, Mayor Tiem naik kuda mereka mengira pasti Mayor Tiem orang yang kejam dan akan menangkap mereka, Mayor Tiem meminta saran pak Kerta bagaimana menyadarkan mereka bahwa Mayor Tiem bermaksud baik.
Kebetulan, salah seorang diantara penduduk yang ketakutan itu, kenal dengan pak Kerta. Mayor Tiem menyuruh pak Kerta menemui orang itudan menrangkan sejelas-jelasnya maksud baik Mayor Tiem mengunjungi desa mereka. Pak Kerta berhsil membawa seorang kenalannya bernama Kertani. Mayor Tiem memuji desanya yang tampak aman, tentram dan nyaman. Kertani menceritakan bahwa memang semula desanya aman tentram, namun akhir-akhir ini kericuhan yang menyebabkan banyak penduduk ngungsi orang yang membuat kegaduhan dan kericuhan itu bernama Jento, seorang jagaoan.
Mendengar ceroita Kertatani, Mayor Tiem tidak dapat menehan kejengkelan dan kemarahannya, ingin segera meringkusnya. Kertatani yang nampak ketakutan untuk mengantar Mayor Tiem menangkap Jento, didekati Mayor Tiem dengan mengatakan agar tidak usah khawatir. Benar dugaan Kertatani, Jento sedang membuat keonaran ditengah-tengah orang yang bekerja disawah. Mayor Tiem segera turun dari kudanya, menarik pedangnya dan berhapan dengan Jento, katanya;” O, jadi kamu yang sering membuat kekacauan dan kegaduhan didesa ini. Ayo, menyerahlah dan ikut aku.”
Semula Jento, akan melawan Mayor Tiem tapi dengan tangkasnya, Mayor Tiem berhasil meringkusnya. Sejak itu desa menjadi aman tentram, damai. Penduduknya kembali kerumah masng-masing. Begitulah tindakan Mayor Tiem menumpas kejahatan, selalu berhasil. Usia Mayor Tiem ketika itu sudah enam puluh tahun, lalu memasuki masa pensiundan menetap tinggal dijawa, bermaksud makin memperdalam budaya dan bahawa jawa, dipilihlah kota Surakarta, untuk bertempat tinggal, hidupnya tentram.
Cinta dan kasih saying terhadap Nurdayati sudah seperti anak kandungnya sendir, didik sebaik mungkin, baik tata cara orang barat maupun orang timur, termasuk jawa dikuasai Nurdiyati. Hanya dalam pergaulan memang Nurdiyati kurang akrab dengan orang jawa, maklum dia tinggal bersama orang Belanda. Para muda-mudi jawa agak segan untuk mendekatinya, namun hal itu juga tidak membuat Nurdiyati kecil hati.
Pada suatu malam, ketika Nurdiyati sudah tidur Mayor Tiem brsama tiga pebantu lainnyaberbincang-bincang mengenai masa depan Nurdiyat. Pak Kerta meski merupakan pendatang baru sebagai ayah Nurdiyati sangat-sangat berterima kasihatas perhatian Mayor Tiem dalam mendidik dan memikirkan nasib Nurdiyati dimasa mendatang, pak Kerta menyerahkan segalanya atas kebijaksanaan Mayor Tiem.
Mayor Tiem minta pandangan atau pendapat pak Kerto mengenai pergaulan Mayor Tiem dengan kenalan-kenalanya orang jawa. Pak Kerto menyebut nama R. Ng. Manguntaya, yang baik hati, ramah, dan tampak akrab sekali dengan Mayor Tiem. Mayor Tiem juga mengakui bahwa dia sangat cocok bergaul dengan R. Ng. Manguntaya, tersebut topik pembicaraan sampai hal akan menjodohkan Nurdiyati dengan putra R. Ng. Manguntaya, hingga larut malam mereka mengakhiri pembicaraan.
Seusai pembicaraan itu pak Kerta tidak bias tidur, gelisah berbagai rasa berkecamuk dihatinya memikirkan masa depan Nurdiyati, dia berharap semoga Nurdiyati bahagia kelak. Perihal masalah orang yang disebut R. Ng. Manguntaya keluarga yang berkecukupan berputra seorang laki-laki bernama R.M. Sudiro, R. Ng. Manguntaya bersama istri kebetulan sedang membicarakan tentang masa depan putranya, gadis man ayang pantas dipersunting R.M. Sudiro. R. Ng. Manguntaya berpendapat alangkah baiknya, seandainya Nurdiyati putrid Mayor Tiem manjadi menantunya, bagaimana cara untuk mempertemukannya, R. Ng. Manguntaya punya akal akan mnyuruh R.M. Sudir, bekerja ditempat Mayor Tiem sebagai juru tulisnya, karena R. Ng. Manguntaya tahu betul, Mayor Tiem membutuhkan juru tulis yang akan membantunya dalam usahanya memperdalam budaya dan bahasa jawa yang ditekuninya sejak dia pengsiun.
Berhasil R.M. Sudiro diterima Mayor Tiem, bekerja sebagai juru tulis dan berkenalan dengan Nurdiyati. Kedua insane itu saling jatuh cinta dan bersedia menjadi suami isteri dikelak kemudian hari. Lain hanya dengan keadaan pak Kerto semenjak malam perundingannya dengan Mayor Tiem, karena sedih dan tertekan dia jatuh sakit, kian hari kian bertambah parah sakitnya, sementara Mayor Tiem, Nurdiyati, dan R.M. Sudiro bekerja seperti biasa, dating sidin tergopoh-gopoh memberi tahukan kalau pak Kerto ingin bertemu dengan mereka betapa terkejut dan cemasnya, mereka melihat pak Kerto sudah tidak berdaya pertama yang disuruh mendekat Nurdiyati ditariknya tangannya, ditempelkan didadanya kemudian pandangannya beralih ke R.M. Sudiro yang setelah mendekat tdan ditangannya juga ditariknya dan ditempelkan didadanya, suasana hening menegangkan .
Terakhir pandangannya tertuju kepada Mayor Tiem segera Mayaor Tiem mendekat berbisik: “ titip Nurdiyati, tuan-tuan sebenarnya Nurdiyati itu bukan anak saya, melainkan anaknya seorang pange…” kalimatnya tidak berlanjut, dia meninggal dengan tenang, upacara pernikahan dilaksanakan dengan sederhana.
Begitulah akhir cerita kehidupan Mayor Tiem dan kehidupan Nurdiyati yang bersuamikan R. M. Sudiro dalam mengarungi bahtera rumah tangga hingga beranak cucu, dan cicit.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar